Seto Wicaksono: Dari Diskriminasi Perekrutan sampai Gembar-Gembor Kebobrokan Gen Z
Talent acquisition alias rekruter sesungguhnya juga karyawan yang memiliki jobdesk untuk melakukan perekrutan. Pada dasarnya kita semua sedang mengerjakan apa yang menjadi bagian kita saja. Kandidat melamar pekerjaan dan rekruter melakukan filter. Ibarat dua sisi mata uang, setiap kisah memiliki perspektif berbeda tergantung siapa yang menceritakan. Kandidat punya keluh-kesah, rekruter punya persoalannya sendiri.
Jika selama ini kita mendengarkan "curhatan" kandidat, yuk, kita dengarkan sudut pandang seorang rekruter--Seto Wicaksono--yang sudah hampir tiga tahun ini berprofesi sebagai Frontline Talent Acquisition Specialist di sebuah perusahaan pembiayaan berbasis teknologi. Menariknya dari profil Seto yang juga alumni Universitas Gunadarma Jurusan Psikologi ini, ia rutin menuliskan pengalamannya sebagai rekruter. Sebagian tulisannya bisa Anda baca di Mojok.co.
"Saya menuliskan fenomena dunia kerja di Indonesia supaya ada titik temu untuk dinamika yang terjadi dan tidak hanya diributkan," jelas Seto. Tanpa berpanjang lagi, baca langsung obrolan Loker ID dengan Seto Wicaksono di sini!
Apa yang menginspirasi Anda untuk memilih karier sebagai talent acquisition?
Latar belakang pendidikan sebagai sarjana Psikologi yang membuat saya memilih karier di ruang lingkup HRD, khususnya sebagai rekruter/talent acquisition. Minat ini sudah tumbuh sejak SMA. Jadi, saat ini saya sedang menjalani apa yang sudah saya harapkan untuk berkarier.
Anda juga senang menulis, lebih menyenangkan mana menulis atau merekrut kandidat? Boleh diceritakan bagaimana Anda memandang dua profesi ini?
Bagi saya, dua hal tersebut tidak bisa dibenturkan atau bukan untuk dipilih salah satunya. Hehehe. Tapi, untuk dijalani, dilakukan. Meski tidak selalu bersamaan. Saya senang menjadi seorang perekrut. Saya juga senang menulis. Jadi, dua hal tersebut saling mengisi keseharian saya. Khusus untuk menulis, acap menjadi katarsis sewaktu penat bekerja atau saat ada unek-unek juga ide, yang perlu disampaikan.
Tantangan apa saja yang Anda hadapi saat memulai karier sebagai talent acquisition, dan bagaimana Anda mengatasinya?
Menemukan kandidat yang sesuai dengan kebutuhan user dan/atau perusahaan. Karena ada standard kompetensi yang harus dipenuhi untuk menempati suatu posisi. Lambat laun kendala tersebut dapat terurai, setelah berdiskusi banyak dengan manager atau user. Juga, mencari pemahaman mengenai posisi yang dibutuhkan melalui internet.
Apa yang paling Anda sukai dari menjadi seorang talent acquisition?
Interaksi dengan banyak pelamar kerja dan memastikan bahwa mereka paham dengan posisi yang dilamar. Termasuk memberi insight tentang ruang lingkup pekerjaan yang diminati jika diperlukan.
Profesi apa nih yang paling sulit dicari selama Anda melakukan proses perekrutan? Boleh diceritakan dan kendalanya apa?
Tidak ada profesi pasti. Namun, ketika levelnya sudah setara supervisor, manajer, atau posisi yang menuntut kemampuan khusus, tentu akan semakin sulit. Karena kemampuan yang dibutuhkan makin mengerucut. Kandidat tentu banyak dan tersebar. Namun, yang cocok dengan kualifikasi khusus tersebut, akan jarang ditemukan. Dan perlu effort lebih atau setidaknya “jodoh-jodohan.”
Pernah ketemu dengan kandidat yang unik? Bagaimana Anda menghadapi situasi tersebut?
Sering dan banyak sekali. Mulai dari kandidat yang bukannya fokus menceritakan tentang dirinya secara profesional, malah curhat saat interview. Sampai kandidat yang marah-marah, bahkan mengatai atau berkata kasar di chat atau email. Jika sedang punya energi lebih, saya coba edukasi atau tanyakan masalahnya apa. Tapi, jika yang bersangkutan terkesan hanya ingin marah-marah tanpa kejelasan, saya abaikan saja. Sebab, saya akan lebih fokus kepada kandidat yang menghargai proses dan berkomunikasi/punya attitude yang baik.
Bagaimana Anda melihat kondisi pasar kerja di Indonesia saat ini pasca COVID-19?
Tidak mudah. Sebab dibarengi juga dengan pemberitaan mengenai sulitnya mendapat pekerjaan sekaligus PHK di mana-mana. Persaingan antara lulusan baru dengan pekerja senior (maupun pekerja aktif) semakin ketat. Lulusan baru pun semakin banyak setiap tahunnya. Baik dari tingkat SMA/K atau perguruan tinggi.
Selama ini di konten yang beredar di media sosial, kerap disinggung mengenai sistem perekrutan di Indonesia yang tidak menguntungkan untuk kandidat, misalnya diskriminasi usia, ghosting (tidak dikabari setelah wawancara dilakukan), riset berbalut wawancara, dll, boleh dibagikan pendapat Anda terkait hal-hal ini?
Fenomena tersebut sulit ditepis, memang. Baik sebagai pekerja (sebagai talent acquisition) maupun personal, saya tidak setuju dengan ageism dan hal lain yang merugikan pelamar kerja sejak awal atau pekerja itu sendiri. Beberapa kali saya perlu berdiskusi dengan user terkait batasan usia. Meski tidak selalu mendapat respons baik, setidaknya, saya sudah sampaikan bahwa hal tersebut malah bisa jadi senjata makan tuan. Utamanya membuang potensi yang sesuai kebutuhan. Jadi, baiknya fokus kepada kompetensi yang dibutuhkan. Apalagi jika posisi yang diinginkan terbilang cukup sulit ditemukan.
Baca artikel mengenai fenomena ghosting di Bukan Hanya Perusahaan, Karyawan Juga Suka Ghosting, Cek Faktanya di Sini!
Apa tren terbaru dalam dunia perekrutan yang menarik perhatian Anda?
Pertama, mengenai Gen Z yang kerap menjadi bahan olok. Hehehe. Padahal, dalam bekerja, Gen Z tidak seburuk yang digembar-gemborkan. Lebih kepada generalisasi. Semuanya dipukul rata. Bahkan, sejak awal perekrutan acap di-underestimate. Kedua, soal status yang ditawarkan oleh perusahaan, semakin banyak dialihkan ke outsourcing, kemitraan, dan semacamnya. Di satu sisi, sebagian orang menganggap melalui hal tersebut bisa menyerap para pencari kerja. Tapi, di sisi lain, status tersebut juga menjadi pro-kontra. Karena dianggap merugikan dan banyak hak pekerja menjadi tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.
Baca artikel mengenai gen z di Gen Z Lebih Memilih Jadi Pekerja Lepas, Apa Alasannya?
Apa yang memotivasi Anda untuk menulis mengenai fenomena dunia kerja dan karier di Indonesia dari sudut pandang HR dan pekerja?
Agar dapat memberi insight kepada para pencari kerja sekaligus pekerja aktif dan aware mengenai isu di dunia kerja itu sendiri. Terlebih, dari sudut pandang saya sebagai orang yang bekerja di ruang lingkup HR. Selain itu, agar ada titik temu atas segala dinamika yang terjadi. Bukan hanya diributkan saja, tapi ada perbaikan/perubahan yang lebih baik.
Keterampilan apa yang menurut Anda paling penting bagi para pekerja di masa depan?
Bagi saya, tidak ada batasan tertentu. Sebab, segala keterampilan akan selalu punya tempat. Apalagi di dunia kerja, batas bawahnya adalah terbuka dengan segala peluang baru. Dan mau belajar untuk hal yang baru.
Apa harapan Anda untuk dunia kerja di Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan?
Hapus segala bentuk diskriminasi dalam dunia kerja. Dan dalam rentang waktu itu, saya harap, pekerja di Indonesia perlahan bisa hidup merdesa (layak/sejahtera--red) dari hasil jerih payahnya.
Sebelas dua belas dengan apa yang diharapkan Seto, profil Loker ID yang lain--Yosa--juga mengungkapkan hal yang senada. Baca perspektif Yosa di artikel: Tinggalkan Mindset Jadul, Terapkan Rekrutmen Seimbang dan Fair!